Wastu Citra (Y.B. Mangunwijaya ) 
Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektural.

Ketika berkesempatan memeriksa buku-buku lama, teringat akan sebuah buku yang menarik untuk dibaca kembali, buku itu adalah buku cetakan kedua yang sempat saya baca beberapa tahun kebelakang. Judul buku itu adalah Wastu Citra, dan ga ada salahnya dipaparkan disini sekedar mengingat tempo lalu tentang sebuah pencitraan terhadap sebuah bangunan.

Bangunan punya citra sendiri-sendiri dan menyiratkan jiwa yang dimiliki pembuatnya, dan uniknya anda sebagai pemiliknya, semakin kita berkembang dalam membangun, semakin kita harus memperhatikan citra, jangan sampai bangsa kita dicap punya keahlian dan keterampilan, tapi tidak memiliki jiwa, begitulah kira-kira Y.B. Mangunwijaya , mengupas dengan lekap dan lugas dalam buku itu, ini merupakan sebuah pendekatan dan pengantar terhadap ilmu budaya bentuk arsitektur, dan sendi-sendi filsafat.
Buku ini memberikan wawasan yang jernih tentang arsitektur di seluruh dunia terutama karena buku ini membahas dari sudut pandang yang sangat Indonesia. 
Saat ini jarang muncul buku dengan pemahaman arsitektur yang sedalam ini.
Jika diperhatikan wastu citra terhadap bangunan di india dan sekitarnya,
bentuk tiang-tiang bangunan di  India, memberi kesan serba bergerak, penuh ukir ukiran penuh gairah, penuh nafsu haus ulah tingkah, Benar, bisa saja semua itu mengejawantahkan sebuah kekuatan spiritual tentang karakter sebuah bangsa tersebut.


Seringkali pemahaman tentang sesuatu yang semestinya, lebih tidak diperhatikan. Betul kata anda, sesuatu yang dikerjakan bukan oleh ahlinya, membuat urusan jadi tidak baik, dan masih dalam persoalan wastu citra  ini, seringkali orang tidak mudah membedakan apakah ini unsur tiang diatas  yang bertugas pokok menopang balok atap, jadi harus kuat dan tanguh, stabil dan tenang, dan bukan unsur hiasan belaka, yang tidak berfungsi memikul apapun. Alih-alih membuatnya menjadi penopang utama, malah memberikan masalah baru. Hal ini berbahaya, mengingat begitu pentingnya fungsi wastu tersebut.

Perhatikan juga dalam tarian bali dan dinamikanya serba panas, main mata dan mengibas-kibaskan raga dan kipas serba kontras, kian kemari antara gamelan yang ekstrem nyaring serba gerak cepat lalu tiba-tiba ekstrem lembut lamban; penuh kejutan-kejutan yang membuat darah mendidih. Pencitraan seperti ini selaras dengan wastu citra yang dibahas dalam artikel ini.


Tari Jawa Tengah dan gaya tari Bali, keduanya saling melengkapi. Kita pun membutuhkan orang yang tenang dan stabil untuk kedudukan atau tugas tertentu; namun untuk tugas lain justru sebaliknya; dibutuhkan orang yang penuh gelora dan semagnat berapi-api. 


Tektonika dan Arsitektur Indonesia
Mendengar istilah tektonika, banyak yang menyandingkannya dengan gempa tektonik. Namun ternyata istilah tektonika dalam arsitektur memiliki makna yang berbeda. Terlebih Arsitektur Indonesia dengan segala kebhinekaannya, tak akan terlepas dari unsur tektonika. Apa, atau siapakah tektonika ini?
Dalam perkembangan kegiatan bangun membangun, biasanya akan diarahkan pada Yunani sebagai pusat bermulanya kegiatan ini dipandang sebagai ilmu. Dan pada kiblat ini pula, muncul berbagai pandangan awal mengenai arsitektur, terlebih tektonika.



Awalnya arsitektur dipandang sebagai proses memikul dan dipikul, atau hanya berpusat pada elemen struktural. Namun di kemudian waktu disadari hadirnya unsur lain. Ketika arsitek sibuk menerapkan kata “harmonis” “selaras” pada susunan strukturnya, disinilah hadir kata keindahan.

Secara etimologi, tektonika berasal dari bahasa yunani, tekton, berarti tukang kayu atau builder. Pada kata kerja adalah tektainomai¸ yang berarti kriya, atau ketukangan, dan pada seni penggunaan kapak. Namun istilah ini muncul pertama pada bahasa Sappho, dimana tekton adalah tukang kayu yang berperan pada unsur seninya. 

Secara umum, tektonika, adalah yang pada proses pembuatannya menyertakan ide-ide puitis yang diasosiasikan dengan mesin, alat, teknologi, dan pembuatan-pembuatan hal, dan pembentukan material.

Dari berbagai perdebatan panjang filsuf Yunani mengenai tolak ukur keindahan, Thomas Aquinas merangkumnya dengan indah: Pulchrum Splendor est Veritatis. Yang bermakna, keindahan adalah pancaran kebenaran. 

Maka tak pelak lagi, tektonika menjadi ilmu yang mencoba mengaitkan kebenaran sebagai sumber pancaran keindahan. 
Jadi secara sederhana tektonika adalah, the art of construction.

Sumber : http://media.rooang.com/2014/08/tektonika- 
               dan-arsitektur-indonesia/
               Mangunwijaya, Y.B. 1988. Wastu Citra:  
               Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk    
               Arsitektural. Jakarta: Gramedia.

Comments

WOODART